Monday, October 24, 2011

Persoalan Manusia dengan Agamanya

1. Sama halna di era peroalan ketegangan Kristen dengan enganutnya terutama kalangan intelektual
2. Mslim pun berhadapan dengan berbagai persoalan yang sama. misalnya ketika umat muslim dihadapkan pada doktrin tentang larangan bertransaksi riba, akan tetapi di sisi lain untukmemajukan usahanya mereka dituntut harus pinjam yang otomatis memberlakukan istem bunga.

Saturday, October 22, 2011

Maafkan Istri dan Anakku, Makan Cuma dengan Garam...!


13192562961119880212
Maafkan anakku, makan hari ini kita cuma makan dengan garam
Walau begitu marilah kita bersyukur pada Tuhan
Kita masih diberi nasi untuk disantap
Tak perlu dikeluhkan Nak
Sebab banyak orang yang lebih pantas mengeluh daripada kita
Namun suaranya nyaris tak terdengar
Istriku, sambil makan, menangislah disisiku
Tetesan air mata yang merembes diujung matamu
Sebetulnya mengiris hati ini
Hidup tak selalu harus bahagia
Kadang kita perlu bersedih untuk bisa memaknai arti sebuah ni’mat yang diberikan Tuhan
Biar kupeluk Dikau, yang begitu sabar dan setia menemani
Walau dengan segala keterbatasan
Putriku, maafkan jika guru menagih SPP
Nanti jika sudah ada akan kita bayar, Insya Allah
Aku sudah usahakan kas bon untuk membayar utang-utang kita
Namun kantor sekarang banyak beban
dan menggunakan prinsif efektif dan efisiensi
Maafkan Istri dan Anakku, hari ini kita makan cuma dengan garam
Biarlah kita tak perlu membebani negeri ini
Walau hanya dengan sebutir telur ayam
Saat kita lapar, ternyata enak juga makan dengan garam
Terima kasih Tuhan…..!
Cat : Dipersembahkan kepada Istriku Yulia dan anakku Najma Zahra Firstaliya

Friday, October 21, 2011

Pendidikan yang Mencerdaskan

Oleh : Alimudin Garbiz[1]
 
Pendidikan merupakan hal penting sebagai sebuah proses menuju pengembangan potensi manusia ke arah yang lebih baik dan (mendekati) sempurna. sebagai makhluk pembelajar, manusia memang bisa diajari apa saja. Berbeda dengan hewan yang perubahannya terbatas hanya pada level tertentu saja. Manusia memiliki otak yang demikian hebat yang dimilikinya. Tentu, melebihi kapasitas dan komputer tercanggih sekalipun.
Akan tetapi  sebagian diantara kita, barangkali saja, kalau tak mau dikatakan banyak, semakin tinggi tingkat pendidikannya, ternyata semakin bodoh ? mengapa semakian bodoh, kita bisa melihat orang yang pendidikannya semakin tinggi, bukannya makin cerdas, malah semakin ketergantungan dengan pendidikan. sehingga hidupnya ketergantungan, pendidikannya tak lebih cuma melampiaskan nafsu kebanggaan terselubung yang menghinggapinya. Setelah menempuh S1 lalu dilanjutkan dengan s2, s3 sampai menjadi profesor. Namun cara berpikirnya sangat dangkal sekali, saking seringnya mempelajari teori, sampai-sampai teori-teori yang dikemukakan ilmuwan sebelumnya dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, yang tak bisa dikoreksi kembali. Padahal teori itu informasi juga yang berasal dari pengalaman empirik sebelumnya. Sedangkan informasi itu selalu up to date dengan keadaan sekarang. Orang memuja teori sebagai sabda Tuhan yang tak bisa dikoreksi ? Bukankah kehidupan ini telah mengajarkan banyak konsep dan teori kepada kita ? untuk dipelajari, dikaji dan diuji keabsahannya dalam konteks saat ini ?
Semakin tinggi pendidikan, banyak yang semakin sombong, kadang kita menemukan dosen/guru yang sombong ketika berhadapan dengan siswa atau mahasiswanya. Semua pendapat siswa/mahasiswa sudah pasti salah, tak ada apresiasi atas “soft skill” yang dimiliki mereka. Di kalangan mahasiswa pascasarjana bahkan berlaku adagium “profesor selalu benar, jika profesor salah itu teori baru” katanya. Padahal manusia tak luput dari kesalahan. masing-masing orang diberikan ilmu “illa qaliilaa” hanya sedikit saja. Informasi yang brilyunan bahkan tak terbatas ini hanya mampu dicerna manusia sebatas kemampuan dan pengalaman konsep dan empirik masing-masing, tak lebih.
Di Perguruan tinggi di Indonesia, ketika mahasiswa melakukan sidang skripsi, tesis ataupun desertasi, para penguji banyak yang memposisikan diri sebagai “penguji” beneran. Mereka menguji mahasiswa tak hanya menguji subtansi penelitian, namun katanya menguji mental juga. Sampai-sampai banyak penguji yang tak puas kalau yang diujinya tidak menangis. Mereka dengan bangga ketika mendapat julukan dosen killer, dengan alasan “Penulis juga dulu begitu ketika mahasiswa” katanya.
Banyak hal perlu kita ubah berkaitan dengan pendidikan. Budaya menyalahkan dan “memvonis” harus diganti dengan budaya empati dan apresiasi. Ketika mahasiswa menjelaskan, apapun itu pasti selalu always salah. Sehingga mahasiswa-mahasiswa kita tak percaya diri dibuatnya. Anak didik kita diajari konsep manajemen Planning, organizing, actuating dan controlling dengan sangat molotok, sehingga ketika mereka lulus, masuk dunia kerja mereka menjadi pencari kerja semua. Masuk dunia usaha mereka banyak planningnya, sehingga akhirnya nggak ada action nya. Mau buka usaha, tak buka-buka, karena banyak pertimbangan, selalu ketinggalan terus, tidak berani gagal, karena di bangku kuliah diajari hidup harus sukses, dan salah satu parameter kesuksesan yang berkembang di masyarakat, tidak boleh gagal, lulus kuliah langsung bekerja.
Di bangku-bangku kuliah kita diajari konsep-konsep hebat para ilmuwan Barat. Ketika para mahasiswa menyodorkan teorinya sendiri, Dosen langsung mencapnya sebagai ‘mahasiswa tak tahu teori”. Menyedihkan dengan keadaan seperti ini. Boleh jadi tidak secara langsung, penyebab negeri ini begini, para guru, dosen, profesornya saja tidak mengajarkan kepercayaan diri kepada kita. Mereka cuma bangga dengan “teori” orang lain yang dihapalnya dari dulu hingga sekarang sebagai teori yang mapan dan tak bisa diganggu gugat.
Padahal ada ruang kuliah yang lebih besar, yakni alam ini yang mengajarkan berbagai banyak hal kepada kita. Tentu, di luar cara-cara belajar kita yang konvensional, yang sedikitnya hanya transfer of knowledge saja. Padahal, ada perpustakaan yang menyediakan banyak buku, buku-buku “kauniyah” diluar buku-buku yang kita baca.
Semakin kita diajari di ruang-ruang kelas, oleh guru dan dosen, dan kita percaya semua kata-katanya, semakin kita bertambah bodoh, jika tanpa dibarengi sikap kritis disertai “kuliah” kita di luar kelas. Tanpa disertai memahami kearifan masyarakat, maka kita hanya menjadi alien-alien bagi yang merasa sudah tercerahkan, tercerdaskan, padahal sebaliknya.
Ketika kita belajar menulis, konon katanya harus menguasai teori menulis terlebih dahulu, sehingga kita akhirnya tak pernah menulis, sebab menulis  (apalagi menulis karya ilmiah), semakin banyak kutipannya, maka semakin ilmiah. Akhirnya supaya lebih ilmiah, kutipan kita copy paste langsung dari bukunya, jadilah Profesor dengan menitipkan banyak buku-buku “karbitan” di Toko Buku Titipan. Padahal menulis bisa dari mana saja, sebab pada hakikatnya tulisan seoriginal apapun adalah mengambil serpihan-serpihan pengalaman, teori dan konsep dari pohon alam yang luas ini yang diberikan Tuhan.
Penulis tidak menyatakan bahwa pendidikan formal dari mulai TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 itu tidak perlu. Hal tersebut patut disyukuri bagi sebagian kita yang mampu menempuhnya, penulis percaya, diantara para guru, dosen, para pendidik di negeri ini, masih banyak yang hebat-hebat, yang mendidik dengan cinta, mengajar dengan empati, dan berdedikasi sepenuhnya demi terciptanya generasi yang tercerahkan dan tercerdaskan. Begitu pula, pendidikan formal kita hendaknya juga dibarengi dengan kecerdasan kita memahami Universitas Kehidupan yang hebat ini, yang telah disediakan Tuhan untuk kita pelajari, dimana banyak rahasia yang tak kita jumpai dibangku-bangku kelas.
Semakin terdidik, kita semakin menyadari kebodohan kita, semakin rendah hati, dan terus menjadi manusia pembelajar. Semestinya juga, kita semakin percaya diri, bukan semakin takut menghadapi kehidupan yang indah dan menantang ini.

Penulis, Dosen Universitas Garut dan Sekolah Tinggi Hukum Garut, aktif di Forum Studi Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 
[1] Dosen Universitas Garut dan Sekolah Tinggi Hukum Garut, aktif di Forum Studi Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Thursday, October 20, 2011

Semakin Tinggi Pendidikan, Semakin Bodoh

1318408488355352464
Pendidikan merupakan hal penting sebagai sebuah proses menuju pengembangan potensi manusia ke arah yang lebih baik dan (mendekati) sempurna. sebagai makhluk pembelajar, manusia memang bisa diajari apa saja. Berbeda dengan hewan yang perubahannya terbatas hanya pada level tertentu saja. Manusia memiliki otak yang demikian hebat yang dimilikinya. Tentu, melebihi kapasitas dan komputer tercanggih sekalipun.
Akan tetapi  diantara kita, barangkali saja, kalau tak mau dikatakan banyak, semakin tinggi tingkat pendidikannya, ternyata semakin bodoh ? mengapa semakian bodoh, kita bisa melihat orang yang pendidikannya semakin tinggi, bukannya makin cerdas, malah semakin ketergantungan dengan pendidikan. sehingga hidupnya ketergantungan, pedidikannya tak lebih cuma melampiaskan nafsu kebanggaan terselubung yang menghinggapinya. Setelah menempuh S1 lalu dilanjutkan dengan s2, s3 (sekalian s teler aja kali) bahkan sampai menjadi profesor. Namun cara berpikirnya sangat dangkal sekali, saking seringnya mereka mempelajari teori. sampai-sampai teori-teori yang dikemukakan ilmuwan sebelumnya dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, yang tak bisa dikoreksi kembali. padahal teori itu kan informasi juga yag berasal dari pengalaman empirik sebelumnya. Sedangkan informasi itu selalu up to date dengan keadaan sekarang. orang memuja teori sebagai sabda Tuhan yang tak bisa dikoreksi ? Bukankah kehidupan ini telah mengajarkan banyak konsep dan teori kepada kita ? untuk dipelajari, dikaji dan diuji keabsahannya dalam konteks saat ini ?
Semakin tinggi pendidikan, banyak yang semakin sombong, saya menemukan Dosen yang sombong ketika berhadapan dengan mahasiswanya. Semua pendapat mahasiswa sudah pasti salah, tak ada apresiasi atas “soft skill” yang dimiliki mahasiswa. Di kalangan mahasiswa pascasarjana bahkan berlaku adagium “profesor selalu benar, jika profesor salah itu teori baru” katanya. Padahal manusia tak luput dari kesalahan. masing-masing orang diberikan ilmu “illa qaliilaa” hanya sedikit saja. Informasi yang brilyunan bahkan tak terbatas ini hanya mampu dicerna manusia sebatas kemampuan dan pengalaman konsep dan empirik masing-masing, tak lebih.
Di Perguruan tinggi di Indonesia, ketika mahasiswa melakukan sidang skripsi, tesis ataupun desertasi, para penguji banyak yang memposisikan diri sebagai “penguji” beneran. Mereka menguji mahasiswa tak hanya menguji subtansi penelitian, namun katanya menguji mental juga. Sampai-sampai banyak penguji yang tak puas kalau yang diujinya tidak menangis. Mereka dengan bangga ketika mendapat julukan dosen killer, dengan alasan “saya juga dulu begitu ketika mahasiswa” katanya.
Di kita yang berkembang justru budaya menyalahkan dan “memvonis”. Ketika mahasiswa menjelaskan, apapun itu pasti selalu always salah. Sehingga mahasiswa-mahasiswa kita tak percaya diri dibuatnya.
Anak didik kita diajari konsep manajemen Planning, organizing, actuating dan controlling dengan sangat molotok, sehingga ketika mereka lulus, masuk dunia kerja mereka menjadi pencari kerja semua. Masuk dunia usaha mereka banyak planningnya, sehingga akhirnya nggak ada action nya. mau buka usaha, tak buka-buka, karena banyak pertimbangan, selalu ketinggalan terus. tidak berani gagal, karena di bangku kuliah diajari hidup harus sukses, dan salah satu parameter kesuksesan yang berkembang di masyarakat, lulus kuliah langsung bekerja.
Di bangku-bangku kuliah kita diajari konsep-konsep hebat para ilmuwan Barat. Ketika para mahasiswa menyodorkan teorinya sendiri, Dosen langsung mencapnya sebagai ‘mahasiswa tak tahu teori”. Duh, saya sedih dengan keadaan seperti ini. Pantesan negeri ini begini, para guru, dosen, profesornya saja tidak mengajarkan kepercayaan diri kepada kita. Mereka cuma bangga dengan “teori” orang lain yang dihapalnya dari dulu hingga sekarang sebagai teori yang mapan dan tak bisa diganggu gugat.
Padahal ada ruang kuliah yang lebih besar, yakni alam ini yang mengajarkan berbagai banyak hal kepada kita. Tentu, di luar cara-cara belajar kita yang konvensional, yang sedikitnya hanya transfer of knowledge saja. Padahal, ada perpustakaan yang menyediakan banyak buku, buku-buku “kauniyah” diluar buku-buku yang kita baca.
Semakin kita diajari di ruang-ruang kelas, oleh guru dan dosen, dan kita percaya semua kata-katanya, semakin kita bertambah bodoh, jika tanpa dibarengi sikap kritis disertai “kuliah” kita di luar kelas. Tanpa disertai memahami kearifan masyarakat, maka kita hanya menjadi alien-alien bagi yang merasa sudah tercerahkan, tercerdaskan, padahal sebaliknya.
Ketika kita belajar menulis, konon katanya harus mengasai teori menulis terlebih dahulu, sehingga kita akhirnya tak pernah menulis, sebab menulis  (apalagi menulis karya ilmiah), semakin banyak kutipannya, maka semakin ilmiah. Akhirnya supaya lebih ilmiah, kutipan kita copy paste langsung dari bukunya he…he…, jadilah Profesor dengan menitipkan banyak buku-buku “karbitan” di Toko Buku Titipan. Padahal menulis bisa dari mana saja, sebab pada hakikatnya tulisan seoriginal apapun adalah mengambil serpihan-serpihan pengalaman, teori dan konsep dari pohon alam yang luas ini yang diberikan Tuhan.
Saya tidak menyatakan bahwa pendidikan formal dari mulai TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 itu tidak perlu. Hal tersebut patut disyukuri bagi sebagaian kita yang mampu menempuhnya, akan tetapi pendidikan formal kita hendaknya juga dibarengi dengan kecerdasan kita memahami Universitas Kehidupan yang hebat ini, yang telah disediakan Tuhan untuk kita pelajari, dimana banyak rahasia yang tak kita jumpai dibangku-bangku pendidikan formal kita.
Semakin terdidik, kita semakin menyadari kebodohan kita, semakin rendah hati, dan terus menjadi manusia pembelajar. Semestinya juga, kita semakin percaya diri, bukan semakin takut menghadapi kehidupan yang indah dan menantang ini.

Tolak Reaktivasi, Masyarakat siap "Jumroh" ke Gedung Sate

Forum Paguyuban Tanah Rel (FPTR) Garut yang terdiri dari para RW dan Tokoh menyelenggarakan Musyawarah dan penyikapan terhadap Rencana Reakt...