Wednesday, November 18, 2015

Manusia Universal


Bagaimana menjadi manusia di Era Global ? ada banyak hal berkaitan dengan manusia global ini, jika kita mengaku sebagai manusia global, kita harus menghormati perbedaan, menjadi manusia yang tahu akan nilai-nilai yang dibangun berdasarkan rasa kemanusiaan yang sama. Saling menghormati antar sesama.

Sebaliknya, menjadi manusia kerdil hanya akan menjadikan bencana kemanusiaan. Manusia dengan pemikiran picik. Menjadi generasi manusia pembenci dan bukan pencinta. Nilai-nilai kebencian akanmenyebar laksana virus menjadi virus kebencian.

Saling menghargai antar sesama manusia , saling menghargai sesama dan antar pemeluk agama dan kepercayaan merupakan keniscayaan. Jika kita menginginkan dunia ini damai, marilah kita ubah berbagai kebencian menjadi saling cinta, saling menghormati dan saling menghargai.

Budaya Welas Asih
Budaya welas asih merupakan bagian budaya luhur bangsa kita. Dalam khazanah budaya Sunda, selalu kita kenal silih asah, silih asih dan silih asuh. Kita harus membiaskan berpikir global akan tetapi bertindak lokal (think globally, act locally). Menjadi manusia universal adalah manusia yang bersilaturrahmi, bersosialisasi dengan dunia internasional. Google, facebook, twitter, youtube, instagram, whatsup, BBM dan interaksi dunia maya lainnya adalah tanda bahwa dunia sudah mengglobal. Dunia yang dulunya luas ini, sekarang menjadi hanya sebuah desa global (the global village) yang tersambung satu sama lain.

Hakikatnya dunia yang kita tempati ini sudah merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi. Buktinya, apa yang terjadi di belahan dunia lain akan segera kita ketahui. Asap yang terjadi di Indonesia mempengaruhi  negara-negara tetangga di sekitar kita. Seluruh ekosistem dunia, hakikatnya dibangun dari lingkungan-lingkungan kecil di dari masing-masing negara dan kawasan.

Menjaga lingkungan sekitar, adalah juga berarti menjaga ekosistem dunia. Jika kita membuang sampah pada tempatnya, tidak membuang sampah ke sungai, hakikatnya kita ikut menjaga kelestarian alam dan ekosistem dunia untuk kelangsungan dan masa depan anak cucu kita. Dunia kita ini, bukan saja merupakan warisan orang tua dan leluhur kita, akan tetapi juga merupakan titipan anak-anak dan cucu kita di masa depan.

Mari menjadi manusia dengan kesadaran Universal; bahwa pada hakikatnya kita adalah satu kesatuan. Selayaknya kita menjadi manusia yang universal, yang melek dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang berempati dengan berbagai penderitaan manusia lainnya di berbagai belahan bumi di manapun. Yang saling menghormati antar berbagai pemeluk agama dan kepercayaan apapun di dunia ini.

Tentu saja, masing-masing kita percaya akan kebenaran agama kita sendiri dengan sepenuh hati dan penalaran yang kita yakini. Akan tetapi, kita juga selayaknya menghormati kepercayaan manusia lain yang berbeda dengan kita. La ikraha fiddin, qad tabayyana arrusydu minal ghayy, tak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas kebenaran dari kebatilan, paling tidak untuk masing-masing pemeluk agamanya.

Tak ada rantai besi, ataupun moncong senjata, yang bisa mengalihkan keimanan seseorang dari apa yang diyakininya. Bukan saatnya kita egois dan memaksakan agama kita untuk dipeluk agama lain dengan cara kekerasan. Al-Qur'an menegaskan dakwah harus dilakukan dalam kerangka mengajak kepada Tuhan dengan cara yang sebaik-baiknya. "ud'u ila sabiili Rabbika bilhikmati wal mau'idhatil hasanah, artinya mengajak kepada jalan Tuhan harus dengan cara yang paling baik dan dengan contoh yang baik pula. Tidak dengan jalan kekerasan dan pemaksaan kehendak, karena tidak ada kekerasan yang dapat menyelesaikan dengan tanpa meninggalkan bekas luka.

Akhirnya, kita dan seluruh dunia harus adil dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Kita berempati terhadap kasus teror dan kekerasan yang terjadi di Perancis. Namun kita juga selayaknya berempati terhadap kekerasan yang terjadi bertahun-tahun di Palestina, Afganistan dan negara-negara lainnya. Kita mengutuk kekerasan yang terjadi di Aceh, kita juga mengutuk dan berempati kepada masyarakat yang menjadi korban kekerasan di Papua.

Menjadi manusia universal, adalah berempati terhadap korban dari manapun, siapapun, suku, agama dan kepercayaan apapun. Perbedaan idelogi, keyakinan, kepercayaan, suku, ras, agama bahkan negara, sudah bukan saatnya lagi kita perbesar-besarkan. Bahkan, Tuhan telah menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut, sebagai cara-Nya, agar kita dapat bersilaturrahmi dan saling mengenal. Saling menyapa satu sama lain dan berdamai dengan perbedaan. Kita merindukan dunia yang aman dan damai. Agama dan Kepercayaan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Tolak Reaktivasi, Masyarakat siap "Jumroh" ke Gedung Sate

Forum Paguyuban Tanah Rel (FPTR) Garut yang terdiri dari para RW dan Tokoh menyelenggarakan Musyawarah dan penyikapan terhadap Rencana Reakt...